Pertanyaan simpel, “Apakah Anda merasa bahagia?” mungkin sering menimbulkan keraguan mengenai makna sejati dari kehidupan. Apakah hidup hanya tentang kenyamanan dan kebahagiaan, atau apakah ada dimensi lain yang lebih mendalam? Di tengah perjalanan menuju kedewasaan, muncul pertanyaan apakah penderitaan dan rasa sakit memiliki dampak yang lebih besar daripada momen-momen bahagia. Apakah kita mulai meragukan pengertian hakiki dari kebahagiaan?

Filosofi Menarik dari Schopenhauer
Filsuf abad ke-19, Schopenhauer, mencoba menganalisis fenomena “mengejar kebahagiaan” ini. Menurutnya, manusia didorong oleh kekuatan yang disebut Will atau kehendak, yang membuat kita tidak pernah merasa puas. Schopenhauer melihat momen-momen bahagia sebagai kondisi sementara yang tercapai dengan melepaskan diri dari rasa sakit. Apakah mungkin rasa sakit sebenarnya memiliki peran positif, sedangkan kebahagiaan dianggap sebagai hal negatif karena hanya terjadi saat rasa sakit disingkirkan?
Schopenhauer mengajukan konsep asketisme sebagai cara untuk mencapai keseimbangan hidup. Menurutnya, hidup seharusnya diukur bukan dari tingkat kegembiraan, tetapi sejauh mana kehidupan itu terbebas dari rasa sakit. Dalam pandangan ini, rasa sakit dianggap sebagai elemen positif dari eksistensi. Dengan mengendalikan kehendak dan melemahkan keinginan terhadap hal-hal eksternal yang tidak dapat kita kontrol, kita dapat mencapai keseimbangan yang lebih tahan lama.
baca juga : Rekomendasi Olahraga yang Seru dan Mudah diikuti
Schopenhauer juga menyajikan konsep ilusi bahagia. Menurutnya, mengejar bahagia sebagai tujuan hidup membuat manusia terjebak dalam siklus tanpa akhir, karena ketika mereka mencapainya, kepuasan tidak pernah tercapai. Oleh karena itu, bahagia dianggap sebagai ilusi, dan cara terbaik untuk menghindari penderitaan adalah dengan tidak memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi terkait kebahagiaan.
Jika kita mengalihkan fokus dari pengejaran kebahagiaan menuju pengurangan rasa sakit, mungkin kita dapat mencapai keadaan yang lebih baik. Schopenhauer menyarankan agar kita memahami diri sendiri dengan lebih baik, mengenali kelebihan dan kekurangan kita, dan fokus pada pengembangan diri. Ini mencakup mengurangi ekspektasi terhadap diri sendiri dan menghindari pandangan yang merugikan terhadap diri kita.
Sebagai penutup, apakah lebih baik mengejar kebahagiaan atau mengurangi rasa sakit? Schopenhauer berpendapat bahwa mencapai keseimbangan dengan mengurangi rasa sakit adalah solusi terbaik. Dengan tidak terlalu banyak berharap terhadap kebahagiaan sebagai tujuan akhir, kita dapat menghindari ketidakpuasan yang terus-menerus.
Referensi: Schopenhauer, A. (Tahun terbit). Die Kunst, glücklich zu sein. [Judul dalam bahasa Inggris: The Art of Being Happy].
Pingback: Dampak Psikologis Menggunakan Media Sosial Secara Berlebihan - bantu kamu #jadilebihbaik